Berdiri kedua dari kanan, Osama Bin Laden kala berusia 16 tahun. Bersama keluarga besarnya di Palin, Swedia - 1971. (Volksrant, 4/5.2011)
Oleh Lea Pamungkas
“Si domba hitam itu sudah pergi,” desah perempuan itu. Osama bin Muhammad bin Awad bin Laden. Pergi atau pulangkah, ini namanya? Dia tak menjawab. “Dia telah menggenapkan panggilannya”.
Wajahnya tertunduk, alis matanya yang hitam menghalangi aku untuk menatap sinar matanya. Lama kami terdiam. “Aku tak tahu persis kenapa ke-57 saudara tirinya menyebut dia demikian. Yang pasti dialah satu-satunya anak yang tak punya unsur Arab Saudi. Ayahnya Muhammad Awad bin Laden berasal dari Yemen. Sementara ibunya Hamida al-Attas berasal dari Suriah.”
“Ia pun sering disebut sebagai anak seorang budak. Hamida –ibu Osama; harus bersaing dengan istri-istri Awad yang lain yang berasal dari Arab Saudi. Dan dalam keluarga, Hamida sering disebut budak,” tambahnya lagi.
Ia mempermainkan kuku-kukunya yang panjang dan terawat rapih. Angin meriap masuk dari kaca jendela. Tidak sejuk, namun mengantarkan wangi melati ke hidungku. “Yah…,” katanya sambil membereskan rambut yang menutupi dahinya. “Kami kerap bersama dalam banyak pesta. Di Riyadh, Jedah. Sering …”
Setelah berpindah ke Arab Saudi, dan menjadi pengusaha Muhammad Awad Bin Laden meraup sukses lewat perusahaannya Saudi Binladin Grup berkantor di Jenewa dan London. Tak heran jika kemudian Awad dan seluruh keluarganya, berikut anak-anaknya kerap muncul dalam pesta-pesta extravaganza para pangeran dan sheikh Arab.
Seperti halnya saudara-saudara yang lain; Osama mengalami kehidupan yang serba mewah. Ayahnya meninggal karena kecelakaan pesawat di Saudi Arabia, usia Osama kala itu menjelang 10 tahun. Sama dengan saudara-saudaranya yang lain, Osama memperoleh warisan bermiliar dollar. “Pada usia 15 tahun dia mempunyai lapangan pacuan kuda,” tambah perempuan itu. Matanya menerawang jauh. “Ia pun kerap mengirim kartu dari kota-kota yang dikunjunginya. Entah itu di Eropa, Amerika, atau Skandinavia.”
“Kadangkala ia menyelipkan puisi yang ditulisnya,” katanya dengan liris. "Karya Field Masrhal Montgomery dan Charles de Gaulle, adalah dua dari yang paling disukainya. Dan sejak awal, ketika kami masih sama-sama duduk di sekolah menengah Al-Thager pun, ia sudah sangat tertarik pada agama. Dia sangat suka menginpretasikan Qur'an dan membicarakan jihad.”
Di atas meja di mana terhidang dua cangkir teh untuk kami, berserak berbagai koran. Dengan foto-foto Osama, dan huruf-huruf yang dibikin besar dan padat, “Osama bin Laden is death”. Perempuan itu membalik-balikkan seluruh lembar utama. Tampaknya dia tak ingin melihatnya. Hanya satu yang ia sisakan, sebuah koran yang memuat foto Osama ketika menjadi turis di kota Palin, Swedia tahun 1971. Kala ia berusia 16 tahun. Ada senyum kecil di sudut bibirnya. “Dia mengirimkan foto ini juga padaku. Tapi aku lupa menyimpannya di mana. Berapa tahun sudah ? “ Ia menatap langit-langit rumahnya, sebuah lampu kristal berdenting perlahan. Menghitung waktu. “40 tahun sudah…”
Sepulang dari perjalanan ini, Osama menikah dengan Najwa Ghanem seorang sepupunya dari kota kelahiran ibunya, Latika. Untuk kemudian melanjutkan studinya. Ia mempelajari ekonomi dan bisnis administrasi di Universitas King Abdulaziz, Jedah. Pernah juga kuliah di fakultas teknik sipil dan publik administrasi. Kala itulah, pada usianya yang ke-22, ia bertemu dengan Abdullah Azam, seorang guru besar kelahiran Palestina. Sseseorang yang banyak memberikan pengaruh pada langkah hidupnya kemudian.
“Dia memilih gaya hidup yang serba asketis, dan sangat peduli untuk menancapkan citra seorang putra jutawan yang memberikan kekayaan pada kemulyaan Islam”. Perempuan itu menyandarkan tubuhnya di sofa. Menambahkan beberapa bantal untuk menyangga punggungnya. “ Tahun-tahun setelahnya, kami tak pernah lagi punya kesempatan untuk bertemu"
* Dari berbagai sumber
Lea Pamungkas, penulis, kini bermukim di Belanda
sumber: kompas
No comments:
Post a Comment