Jakarta - Mungkin masih banyak yang belum mengenal cokelat bermerk 'Monggo'. Namun, kiprah merk coklat rumahan ini dalam industri hilir cokelat ini rupanya sudah tidak perlu diragukan.
Awalnya pada tahun 2003, merk dagang ini hanya mengolah sekitar 200 kg biji kakao setengah jadi per bulan untuk dijadikan cokelat khas Monggo yaitu dark chocolate. Namun, pada tahun 2011 ini, industri rumahan ini telah mengolah sekitar 5 ton kakao setengah jadi per bulan.
Edward Riando Picasauw, salah seorang pendiri perusahaan coklat Manggo ini menyatakan adanya kenaikan konsumsi coklat merknya disebabkan adanya pergeseran selera masyarakat yang tadinya menyukai coklat dengan campuran susu, kini mulai tertarik dengan cita rasa cokelat internasional yang merupakan pure butter cacao dengan sensasi rasa pahit.
"Trennya konsumen itu suka cokelat susu, tapi kini mulai mengerti rasa coklat yang sebenarnya. Coklat Monggo ini adaptasi dari cokelat Belgia, lalu disinkkronkan dengan selera Indonesia, seperti Hazelnut diganti dengan kacang mete," ujar lelaki yang akrab dipanggil Edo ini saat ditemui pada acara Chocolate Party on Sunday di pelataran parkir Gedung Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta, Minggu (11/12/2011).
Edo tidak sendiri, dia bersama temannya asal Belgia, Thierry Detournay memproduksi cokelat dengan 80 persen karya tangan manusia, hanya 20 persen menggunakan mesin. Sementara bahan bakunya berasal dari Sulawesi yang merupakan pulau penghasil coklat terbesar di Indonesia.
"Mesin ini kita gunakan hanya untuk menghancurkan biji kakao yang keras-keras, selebihnya menggunakan tangan manusia," ujarnya.
Coklat asal Kotagede ini mulai dipasarkan di seluruh Jawa dan Bali. Tidak heran, omzet perusahaan ini pun tembus USD 1 juta dalam setahun. Tidak mau berhenti di situ, Edo menyampaikan pihaknya berencana untuk Go International. Dengan peluang tersebut, dia mengharapkan produksi dan omzet pun dapat meningkat 2 kali lipat.
"Ya mudah-mudahan bisa 2 kali lipatnya," ujar Edo segan.
Rencananya, coklat asal kota Gudeg ini akan sambangi negara-negara seperti Amerika Serikat pada tahun 2012 mendatang. Namun, Edo menyatakan rencana tersebut masih menunggu izin ekspor dari Direktorat Jenderal Bea Cukai.
"Sudah banyak permintaan yang menghubungi kami, itu dari Swedia, Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Greendland. Tapi ini aspek legalitasnya baru kami urus, nanti baru setelah di-ACC oleh Bea Cukai, kami akan ekspor," jelasnya.
Sebagai pengusaha coklat, Edo melihat adanya beberapa kendala selain dalam bidang permodalan untuk mengembangkan usaha ini. Salah satunya adalah ketidakmampuan pemerintah Indonesia dalam menentukan harga cokelat dunia. Padahal posisi Indonesia sebagai negara ketiga terbesar penghasil komoditas kakao tersebut sudah sangat kuat di mata dunia.
Akibatnya, pengusaha coklat dalam negeri masih was-was jika sewaktu-waktu harga bahan baku coklat internasional melonjak tajam. Pasalnya, kebanyakan pengusaha kakao akan mengekspor ke luar negeri karena tergiur harga yang tinggi. Hal ini dapat menganggu produksi coklat dalam negeri jika bahan bakunya menghilang di pasar domestik.
"Indonesia belum bisa memengaruhi harga, ini kan masih tergantung dolar, padahal kita negara ketiga penghasil kakao, Pantai Gading dan Ghana kalau perang bisa tentukan harga, tapi nanti kalau terjadi kenaikan harga bahan baku, hancur kita," tandasnya.
Bagaimana tertarik?
Hubungi Edo via:
Email: info@chocolatemonggo.com
No comments:
Post a Comment